
Dari dulu hingga sekarang, entahlah dengan masa depan, Pati dikenal sebagai kota pensiunan. Kota yang menawarkan ketenangan dan kedamaian bagi warganya. Kota tanpa gejolak, tidak ada demonstrasi, kerusuhan besar-besaran, dan tindakan-tindakan anarkis lainnya. Apabila diartikan, pati memiliki makna “menep”. Selain sebagai kota pensiunan, Pati juga dikenal sebagai kota prostitusi, dan ternyata sebutan tersebut telah berlangsung lama. Pada waktu ibu saya kecil dan masih tinggal di Semarang, beliau sudah sering mendengar jika wanita-wanita Pati bisa dibawa (cewek bispak). Mungkin, pada waktu itu sekitar tahun 1970 an. Apalagi ditambah dengan maraknya tanggapan pagelaran tayub yang justru semakin menambah subur ungkapan tersebut.
Penghargaan Adipura 2008 yang dianugerahkan kepada Kabupaten Pati seakan tampak sia-sia, karena tempat-tempat karaoke masih tetap eksis dan tentu saja kemaksiatan terus saja berlangsung, istilahnya never stop ending alias tidak pernah berakhir. Sekalipun menyandang predikat “bersih”, kebersihan itu hanya bersifat semu dan sementara. Jika penilaian Adipura telah berakhir dan penghargaan telah diserahkan, maka berakhir pula “kebersihan” itu. Semua kembali menampakkan wajah aslinya. Topeng telah dilepas …
LOKASI
Suatu kegiatan pasti membutuhkan lokasi. Kegiatan perdagangan memerlukan pasar, pusat perbelanjaan, pertokoan; kegiatan pendidikan harus ditunjang oleh ketersediaan fasilitas gedung sekolah, kantor dinas terkait, begitu pula dengan kegiatan prostitusi. Berdasarkan pada apa yang saya ketahui, ada beberapa titik yang menjadi lokasi dari kegiatan prostitusi di Kabupaten Pati, antara lain Lorong Indah (LI) di Kecamatan Margorejo, tempat-tempat karaoke di belakang Plaza Puri dan di Jalan Ahmad Yani, serta Pasar Wagenan yang merupakan pasar hewan di Kecamatan Margorejo.
Lorong Indah, saya tidak tahu seperti apa bentuknya, berada di pinggir kota. Mungkin, LI itu sendiri telah membentuk suatu kawasan yang sangat kompleks. Duh, untuk membayangkannya pun saya tidak mampu. Kawasan prostitusi ini – biasa dikenal sebagai red zone – sebaiknya memang diletakkan di pinggiran kota. Apabila ditempatkan di tengah kota, maka akan mengganggu image kota itu sendiri.
Namun, sayangnya … itulah yang terjadi pada tempat-tempat karaoke di Pati. Sebagian besar tempat tersebut berada di pusat kota. Kehadirannya sungguh mencolok apabila dibandingkan dengan bangunan-bangunan yang berada di sekitarnya. Sekali lihat, saya mendapatkan kesan yang eksklusif, tertutup, suram, entah apa yang ada d dalamnya.
Romantika Cafe & Karaoke
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2009
Saya pernah mendapatkan pengalaman yang tak mengenakkan di belakang Plaza Puri. Hari sudah berangsur malam, mungkin sekitar pukul 20.00 WIB, ketika saya dan ibu saya melintasi kawasan tersebut. Bukan bermaksud untuk apa-apa, tetapi pada saat itu saya sedang mencari counter Indosat di Plaza Puri. Di deretan depan toko, saya tidak melihatnya. Kemudian, saya dan ibu saya mencoba untuk pergi ke belakang Plaza, menemukan segerombolan anak muda, tentu saja cowok, memanggil ibu saya dengan sebutan “mami”. Ya Allah, saya dan ibu saya langsung tancap gas meninggalkan tempat itu. Berarti, ibu saya disangka germo yang membawa barang baru …, yaitu saya. Sungguh, pikiran-pikiran mengerikan memenuhi otak saya. “Emang aku cewek apaan?” batin saya dalam hati.
Nama tempat-tempat karaoke tersebut bermacam-macam dan indah, misalnya Mars, Romantika, dan Millenium. Nama yang saya sebutkan terakhir, Millenium, terletak di Jalan Ahmad Yani, dan berada di dekat Perumnas Winong. Fenomena apa ini? Memang, dengan diletakkan di tengah kota, maka tempat tersebut dapat dijangkau dengan mudah. Namun, hal yang patut dipermasalahkan adalah letaknya yang dekat dengan perumahan, disertai dengan adanya cewek-cewek berpakaian seksi yang keluar masuk.
Sedangkan, Pasar Wagenan terletak di jalur pantura yang padat dengan kendaraan. Pada siang hari, dengan pasaran Wage tentu saja, Pasar Wagenan berfungsi sebagai pasar hewan, tetapi ketika malam mulai merayap, Wagenan berubah menjadi “pasar manusia”. Entahlah, sebenarnya sungguh tidak etis apabila saya menyebutnya demikian. Namun, begitulah kenyataan yang terjadi, dimana seks dijadikan sebagai barang dagangan dan layak untuk dipertontonkan. Saya pun langsung bertanya dalam hati, dimana harga diri seorang wanita? Bagaimana mereka mampu mendongakkan kepala memandang hidup?
Dengan mudah, para sopir jalanan yang jauh dari rumah dan merindukan kasih sayang bisa mendapatkannya dari pekerja seks bayaran. Oh ya, saya mendengar dari temen-temen chatting, bila “di LI sekali naik itu harganya berkisar 60 – 70 ribu rupiah”. Gila! Sungguh, semua ini gila di mata saya. Sekali melakukan pelayanan, seorang PSK dibayar 60 – 70 ribu. Apakah hanya segitu harga yang diberikan oleh para lelaki hidung belang? Pasti harga tersebut belum termasuk biaya yang harus dipotong untuk membayar “mami”nya.
ALASAN
Menurut saya, ada berbagai macam alasan di balik tumbuh suburnya kegiatan prostitusi di Kabupaten Pati. Pernhkah kita mendengar istilah demand and supply? Dimana ada permintaan terhadap barang dan jasa, maka di situlah terdapat penawaran. Jadi, apabila tidak terdapat para lelaki hidung belang, maka tidak akan ada pula para PSK ataupun PK. Akan tetapi, apakah hal tersebut mungkin saja terjadi? Dalam hal ini, para pelanggan tidak hanya berasal dari Pati sendiri, tetapi juga banyak yang berasal dari daerah tetangga, misalnya Kudus, Purwodadi, Jepara, Rembang. Hancur sudah image Pati di mata warga kabupaten lain.
Walaupun harus membutakan hati dan pikiran – tanpa melibatkan perasaan, pekerjaan sebagai PSk atau lonte untuk istilah kasarnya, sangat mudah dan cepat menghasilkan uang. Bagaimana tidak? Hanya dengan melayani apa yang diinginkan pelanggan, maka uang akan mengalir sendiri masuk ke kantong, sekalipun permintaan tersebut aneh-aneh. Simpel, tidak perlu bekerja di bawah terik sinar matahari selama berjam-jam, tidak perlu menggunakan ketrampilan khusus. Hanya berdandan secantik dan seseksi mungkin untuk menarik mata para pria. Namun, yang seharusnya dipertanyakan di sini adalah apakah mereka bahagia dengan kehidupan yang mereka jalani. Apakah senyuman mereka berasal dari hati yang tulus? Masih banyak segudang apakah lainnya yang perlu dipertanyakan, dan … menunggu untuk dijawab.
Rendahnya sumber daya manusia yang dimiliki serta kekurangan kesempatan kerja yang menjanjikan, mau tidak mau menjadi dua faktor kunci penting. Pemerintah Kabupaten Pati belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai. Bahkan, di antara para petinggi itu sendiri terdapat persaingan, korupsi, kolusi, nepotisme, suap menyuap, penyerahan upeti, kalau sudah begitu … boro-boro memikirkan rakyat, yang penting kantong sendiri tebal. Tidak mustahil pula jika para pejabat tersebut turut berkecimpung masuk ke dalam dunia prostitusi.
THE OTHER SIDES
Jika sudah tercebur ke tempat-tempat karaoke dan lokalisasi, maka tidak dapat dipungkiri lagi bahwa minuman keras juga ikut memegang peranan penting. Padahal, miras dapat mengganggu koordinasi kerja otak. Memang, miras menyebabkan seseorang lupa akan masalah yang sedang dihadapinya, tetapi dampak yang dirasakan setelah itu … bisa saja sungguh mengerikan. Bisa-bisa ketika mabuk, tidaklah mengherankan apabila dia membacok istrinya sendiri. Setelah itu, dia tidak mengingat apa-apa. Apakah dunia penuh gemerlap itu yang dia diinginkan?
Nah, antara minuman keras dan narkoba terdapat link atau hubungan yang erat. Sangatlah mudah memasukkan barang-barang tersebut ke tempat-tempat karaoke. Namun, di Pati sendiri, saya belum pernah mendengar adanya peredaran narkoba. Apakah benar-benar tidak ada atau belum muncul ke permukaan? Yah, semoga saja segala keruwetan ini tidak ditambah dengan barang terlarang tersebut.
Masyarakat umum pasti memandang pekerjaan para PK atau PSK sebagai hal yang tidak lumrah. Mesti badan para PK sudah habis dipegang-pegang mas-mas, bapak-bapak yang mulutnya berbau alkohol. Ada asap rokok ada di mana-mana memenuhi rongga pernapasan, obrolan-obrolan yang tidak penting dan mungkin tidak sepatutnya diperbincangkan.
Nyatanya, usaha prostitusi ini terus saja berlangsung, aman tanpa gangguan. Lha, bagaimana tidak? Pemilik tempat-tempat tersebut sudah mengantongi izin dari Bupati. “Kalau masyarakat resah ya biarkan saja. Yang penting uang terus mengalir,” kata Sang Bupati tak peduli. Mau jadi apa Pati kelak? Memang, faktor ekonomi memegang peranan di sini. Kawasan-kawasan red zone menjadi sumber mata pencaharian bagi banyak orang, seperti pedagang bakso, mi ayam, rokok, dan sebagainya. Ya, roda ekonomi tidak berhenti berputar …
Bagaimana selanjutnya?
Namun, seberapapun buruknya Kota Pati, saya tidak pernah bisa membencinya …, karena inilah kota saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar